Senin, 17 Juni 2013

Toxoplasmosis

TOXOPLASMOSIS

       I.            PENDAHULUAN
Toxoplasmosis adalah penyakit zoonotic yang disebabkan oleh protozoa Toxoplasma gondii. Toxoplasma gondii termasuk golongan Protozoa dan bersifat patogen. Parasit ini dapat ditemukan secara kosmopolit yang tersebar di segala penjuru dunia baik di negara tropis, subtropis maupun negara beriklim dingin.
Meskipun bersifat patogen, Toxoplasma gondii tidak selalu menyebabkan keadaan patologis pada hospesnya karena parasit ini memiliki kemampuan yang sangat besar untuk beradaptasi dengan tubuh hospes. Penderita bahkan seringkali tidak menyadari bahwa dirinya telah terinfeksi karena tidak mengalami tanda dan gejala penyakit yang jelas.
Penderita dengan imunitas yang tinggi jika terinfeksi Toxoplasma gondii tidak akan mengalami keadaan patologis yang nyata, walaupun pada beberapa kasus diketahui adanya pembesaran kelenjar limfe, lelah yang berlebihan, miokarditis akut, dan miositis hingga radang otak.
Infeksi Toxoplasma gondii akan memberikan kelainan yang jelas pada penderita yang mengalami penurunan imunitas. Penurunan imunitas ini dapat menyebabkan Toxoplasma gondii dapat berkembang secara cepat tanpa dapat dikendalikan oleh kekebalan tubuh hospes.
Toxoplasma gondii dapat menyebabkan gangguan pada ibu hamil. Oleh karena itu, diperlukan pengetahuan yang lebih mengenai Toxoplasmosis sehingga dapat mencegah dan mewaspadai terhadap penyakit ini.

    II.            DEFINISI
Beberapa definisi yang terkait mengenai Toxoplasmosis, antara lain :
·         Toxoplasmosis adalah penyakit yang disebabkan oleh infeksi dengan parasit obligat intraselluler Toxoplasma gondii.
·         Infeksi toxoplasma akut merupakan  infeksi yang didapat sesudah bayi dilahirkan, biasanya asimptomatik.
·         Infeksi toxoplasma kronik merupakan terjadinya persistensi kista dalam jaringan yang berisi parasit pada individu yang secara klinis asiptomatik.
·         Toxoplasmosis akut maupun kronik merupakan suatu keadaan saat parasit menjadi penyebab terjadinya gejala dan tanda klinis ( antara lain : ensefalitis, miokarditis, pneumonia ).
·         Toxoplasmosis congenital merupakan infeksi pada bayi baru lahir yang terjadi akibat penularan parasit secara transplasental dari ibu yang terinfeksi terhadap janinnya. Bayi ini biasanya asiptomatik pada saat dilahirkan tapi di kemudian hari akan timbul manifestasi berupa gejala dan tanda dengan kisaran yang luas seperti : korioretinitis, strabismus, epilepsi dan retardasi psikomotor.
Toxoplasmosis adalah parasit obligat intaseluler, tinggal di dalam sel hospes pada vakuol sitoplasma sel yang berinti. Dalam siklus hidupnya, Toxoplasma gondii mengalami perkembangbiakan secara seksual di dalam usus hospes definitif yaitu golongan Felidae : kucing, harimau, dan aseksual dalam tubuh hospes intermediet (mamalia dan burung).

 III.            ETIOLOGI
Penyakit ini disebabkan oleh T.gondii yang merupakan parasit obligat intraselluler ( protozoa ) dari ordo Coccidia yang dapat menimbulkan infeksi pada burung dan mamalia. Toxoplasma gondii ada dalam 3 bentuk di alam :
1. Ookista adalah bentuk yang resisten di alam
2. Trofozoid adalah bentuk vegetatif dan proliferatif
3. Kista bentuk yang resisten di dalam tubuh
Ada 2 aspek yang berbeda pada siklus kehidupan T.gondii, yakni :
1. Bentuk proliferatif ( aseksual ) terjadi pada penjamu perantara seperti : burung, mamalia, manusia, disebut juga siklus nonfeline.
2. Bentuk reproduktif ( seksual ), terjadi pada usus kucing sebagai penjamu definitif, disebut juga siklus feline ( feline = kucing ).
Kucing dan hewan sejenisnya merupakan hospes definitif dari T. gondii. Di dalam usus kecil kucing sporozoit menembus sel epitel dan tumbuh menjadi trofozoit. Inti trofozoit membelah menjadi banyak sehingga terbentuk skizon. Skizon matang pecah dan menghasilkan banyak merozoit (skizogoni). Daur aseksual ini dilanjutkan dengan daur seksual. Merozoit masuk ke dalam sel epitel dan membentuk makrogametosit dan mikrogametosit yang menjadi makrogamet dan mikrogamet (gametogoni). Setelah terjadi pembuahan terbentuk ookista, yang akan dikeluarkan bersama tinja kucing. Di luar tubuh kucing, ookista tersebut akan berkembang membentuk dua sporokista yang masing-masing berisi empat sporozoit (sporogoni) (Krahenbuhl dan Remington, 1982). Bila ookista tertelan oleh mamalia seperti domba, babi, sapi dan tikus serta ayam atau burung, maka di dalam tubuh hospes perantara akan terjadi daur aseksual yang menghasilkan takizoit. Takizoit akan membelah, kecepatan membelah takizoit ini berkurang secara berangsur kemudian terbentuk kista yang mengandung bradizoit. Bradizoit dalam kista biasanya ditemukan pada infeksi menahun (infeksi laten). Bila kucing sebagai hospes definitif makan hospes perantara yang terinfeksi maka berbagai stadium seksual di dalam sel epitel usus muda akan terbentuk lagi. Jika hospes perantara yang dimakan kucing mengandung kista T. gondii, maka masa prepatennya 2 -3 hari. Tetapi bila ookista tertelan langsung oleh kucing, maka masa prepatennya 20 -24 hari. Dengan demikian kucing lebih mudah terinfeksi oleh kista dari pada oleh ookista (Cox, 1982 ; Levine, 1990)

Gambar 1. Siklus hidup Toxoplasma gondii

                       
 IV.            EPIDEMIOLOGI
Toxoplasma gondii dapat menginfeksi sejumlah mamalia dan burung. Sero prevalensinya tergantung pada kondisi setempat dan usia populasinya. Umumnya kondisi lingkungan yang panas dan kering disertai dengan prevalensi infeksi yang rendah. Tanah merupakan sumber infeksi untuk herbivora seperti kambing, domba, dan babi. Karena infeksi pada kebanyakan hewan menetap secara menahun, maka daging yang mentah / setengah matang menjadi sumber infeksi untuk manusia, karnivora dan kucing.
Infeksi pada manusia didapat melalui :
1. Ookista yang berasal dari tinja penjamu definitif ( kucing ) tertelan melalui mulut.
2. Memakan daging setengah matang yang berasal dari binatang yang mengandung kista infektif
3. Penularan dari ibu hamil yang terinfeksi kepada bayinya
                        Penularan transplasental :
T.gondii dapat ditularkan kepada janin jika ibu mendapatkan infeksi primer sebelum kehamilan. ± ⅓ dari semua wanita yang terinfeksi dalam masa kehamilannya akan menularkan parasit tersebut ke janinnya. Dari berbagai faktor yang menentukan hasil akhir janin, usia kehamilan pada saat infeksi merupakan faktor yang paling menentukan. Ada beberapa data yang menyatakan peranan infeksi maternal yang baru saja terinfeksi sebagai sumber penyakit congenital. Jadi wanita dengan seropositif sebelum kehamilan biasanya justru terlindung terhadap infeksi yang akut dan tidak akan melahirkan janin yang terinfeksi secara congenital. Pedoman secara umum ini dapat diikuti untuk infeksi congenital. Pada dasarnya resiko tidak akan terjadi apabila ibu sudah terinfeksi 6 bulan / lebih sebelum terjadi pembuahan. Jika infeksi terjadi dalam waktu < 6 bulan sebelum pembuahan, kemungkinan terjadi infeksi transplasental akan meningkat bersamaan dengan berkurangnya masa selang antara infeksi dan pembuahan. Sebagian besar perempuan yang terinfeksi semasa hamil akan melahirkan bayi yang normal dan tidak terinfeksi. Sekitar ⅓ akan menularkan infeksi tersebut pada bayinya. Jika infeksi terjadi pada trimester I kehamilan,insidensi infeksi transplasenta menduduki tempat paling rendah ( ± 15%) tetapi penyakit yang terjadi pada neonatus paling berat. Jika infeksi terjadi pada trimester III, insidensi infeksi treansplasental paling tinggi (65%), tetapi bayi biasanya asimptomatik pada saat dilahirkan. Namun bukti paling akhir yang diperoleh menunjukkan bahwa bayi yang terinfeksi dan tampak normal mungkin mempunyai insidensi ketidakmampuan belajar serta defek neurologist kronis yang lebih tinggi pada anak yang tidak terinfeksi. Hanya sejumlah kecil wanita ( 20% ) yang terinfeksi T.gondii menunjukkan tanda klinis infeksi. Diagnosa infeksi sering diketahui secara tidak sengaja ketika tes serologis pasca konsepsi yang rutin memperlihatkan bukti adanya antibodi spesifik.

    V.            TANDA DAN GEJALA
Manusia dapat terinfeksi oleh T. gondii dengan berbagai cara yaitu makan daging mentah atau kurang rnasak yang mengandung kista T. gondii, ternakan atau tertelan bentuk ookista dari tinja kucing, rnisalnya bersarna buah-buahan dan sayursayuran yang terkontaminasi. Juga mungkin terinfeksi melalui transplantasi organ tubuh dari donor penderita toksoplasmosis laten kepada resipien yang belum pernah terinfeksi T. gondii. Kecelakaan laboratorium dapat terjadi melalui jarum suntik dan alat laboratoriurn lain yang terkontaminasi oleh T. gondii. Infeksi kongenital. Terjadi intra uterin melalui plasenta (WHO, 1979 ; Levine, 1990).
Setelah terjadi infeksi T. gondii ke dalam tubuh akan terjadi proses yang terdiri dari tiga tahap yaitu parasitemia, di mana parasit menyerang organ dan jaringan serta memperbanyak diri dan menghancurkan sel-sel inang. Perbanyakan diri ini paling nyata terjadi pada jaringan retikuloendotelial dan otak, di mana parasit mempunyai afinitas paling besar. Pembentukan antibodi merupakan tahap kedua setelah terjadinya infeksi. Tahap ketiga rnerupakan rase kronik, terbentuk kista-kista yang menyebar di jaringan otot dan syaraf, yang sifatnya menetap tanpa menimbulkan peradangan lokal.
Pada garis besarnya sesuai dengan cara penularan dan gejala klinisnya, toksoplasmosis dapat dikelompokkan atas: toksoplasmosis akuisita (dapatan) dan toksoplasmosis kongenital. Baik toksoplasmosis dapatan maupun kongenital sebagian besar asimtomatis atau tanpa gejala. Keduanya dapat bersifat akut dan kemudian menjadi kronik atau laten. Gejala yang nampak sering tidak spesifik dan sulit dibedakan dengan penyakit lain.
Toksoplasmosis dapatan biasanya tidak diketahui karena jarang menimbulkan
gejala. Tetapi bila seorang ibu yang sedang hamil mendapat infeksi primer, ada kemungkinan bahwa 50% akan melahirkan anak dengan toksoplasmosis kongenital.
Gejala yang dijumpai pada orang dewasa maupun anak-anak umumnya ringan. Gejala klinis yang paling sering dijumpai pada toksoplasmosis dapatan adalah limfadenopati dan rasa lelah, disertai demam dan sakit kepala (Zaman dan Keong, 1988).
Pada infeksi akut, limfadenopati sering dijumpai pada kelenjer getah bening daerah leher bagian belakang. Gejala tersebut di atas dapat disertai demam, mialgia, malaise. Bentuk kelainan pada kulit akibat toksoplasmosis berupa ruam makulopapuler yang mirip kelainan kulit pada demam titus, sedangkan pada jaringan paru dapat terjadi pneumonia interstisial.
Gambaran klinis toksoplasmosis kongenital dapat bermacam-macam. Ada yang tampak normal pada waktu lahir dan gejala klinisnya baru timbul setelah beberapa minggu sampai beberapa tahun. Ada gambaran eritroblastosis, hidrops fetalis dan triad klasik yang terdiri dari hidrosefalus, korioretinitis dan perkapuran intrakranial atau tetrade sabin yang disertai kelainan psikomotorik (Zaman dan Keong, 1988).
Toksoplasmosis kongenital dapat menunjukkan gejala yang sangat berat dan menimbulkan kematian penderitanya karena parasit telah tersebar luas di berbagai organ penting dan juga pada sistem syaraf penderita.
 Gejala susunan syaraf pusat sering meninggalkan gejala sisa, misalnya retardasi mental dan motorik. Kadang-kadang hanya ditemukan sikatriks pada retina yang dapat kambuh pada masa anak-anak, remaja atau dewasa. Korioretinitis karena toksoplasmosis pada remaja dan dewasa biasanya akibat infeksi kongenital.
Akibat kerusakan pada berbagai organ, maka kelainan yang sering terjadi bermacam-macam jenisnya. Kelainan pada bayi dan anak-anak akibat infeksi pada ibu selama kehamilan trimester pertama, dapat berupa kerusakan yang sangat berat sehingga terjadi abortus atau lahir mati, atau bayi dilahirkan dengan kelainan seperti ensefalomielitis, hidrosefalus, kalsifikasi serebral dan korioretinitis. Pada anak yang lahir prematur, gejala klinis lebih berat dari anak yang lahir cukup bulan, dapat disertai hepatosplenomegali, ikterus, limfadenopati, kelainan susunan syaraf pusat dan lesi mata.
Infeksi T. gondii pada individu dengan imunodefisiensi menyebabkan manifestasi penyakit dari tingkat ringan, sedang sampai berat, tergantung kepada derajat imunodefisiensinya (Cornain dkk., 1990).
Menurut Gandahusada (1991),  pada penderita imunodefisiensi, infeksi T. gondii menjadi nyata, misalnya pada penderita karsinoma, leukemia atau penyakit lain yang diberi pengobatan kortikosteroid dosis tinggi atau radiasi. Gejala yang timbul biasanya demam tinggi, disertai gejala susunan syaraf pusat karena adanya ensefalitis difus. Gejala klinis yang berat ini mungkin disebabkan oleh eksaserbasi akut dari infeksi yang terjadi sebelumnya atau akibat infeksi baru yang menunjukkan gejala klinis yang dramatis karena adanya imuno-defisiensi.
Pada penderita AIDS, infeksi T. gondii sering menyebabkan ensefalitis dan kematian. Sebagian besar penderita AIDS dengan ensefalitis akibat T. gondii tidak menunjukkan pembentukan antibodi dalam serum (Cornain dkk., 1990).

 VI.            DIAGNOSA
Diagnosa serologis toxoplasmosis akut pada neonatus dibuat berdasarkan titer IgM yang positif ( sesudah minggu pertama untuk menyingkirkan kemungkinan kebocoran lewat plasenta ). Penurunan titer IgG harus diulang setiap 6 – 12 minggu / kali. Peningkatan titer IgM yang berlangsung melebihi minggu pertama merupakan indikasi adanya infeksi akut ( waktu paruh IgM maternal 3 – 5 hari ).

VII.            TERAPI
Pasien yang hanya memperlihatkan gejalalimfadenopati tidak perlu terapi spesifik kecuali jika terdapat gejala yang persisten dan berat. Pasien dengan okuler toxoplasmosis harus diobati selama 1 bulan dengan sulfadiazin dan pirimetamin. Preparat alternatif adalah kombinasi klindamisin dan pirimetamin.
Susunan pengobatan paling mutakhir mencakup pemberian pirimetamin dengan dosis awal 50 – 75 mg / hari, ditambah sulfadiazin 4 – 6 g / hari dalam dosis terbagi 4. Selain itu diberikan pula kalsium folinat 10 -15 mg / hari selama 6 minggu. Semua preparat ini hanya bekerja aktif terhadap stadium takizoit pada toxoplasmosis. Jadi setelah menyelesaikan pengobatan awal penderita harus mendapat tertapi supresif seumur hidup dengan pirimetamin ( 25 -50 mg ) dan sulfadiazin ( 2 – 4 g ). Jika pemberian sulfadiazin tidak dapat ditolerir dapat diberikan kombinasi pirimetamin ( 75 mg / hari ) ditambah klindamisin ( 400 mg ) 3x / hari. Pemberian pirimetamin saja ( 50 -75 mg / hari ) mungkin sudah cukup untuk terapi supresif yang lama. Neonatus yang terinfeksi secara congenital dapat diobati dengan pemberian pirimetamin oral ( 0,5 – 1 mg / kg BB ) dan sulfadiazine ( 100 mg / kg BB ).Di samping itu terapi dengan golongan spiramisin ( 100 mg / kg BB ) ditambah prednisone ( 1 mg / kg BB ) juga memberikan respon yang baik untuk infeksi congenital.

VIII.            PENCEGAHAN
Infeksi primer toxoplasma dapat dikurangi dengan menghindari bahan yang terkontaminasi ookista dan memakan daging yang kurang matang. Daging harus dimasak hingga suhu 60ºC dan dibekukan untuk mematikan kista. Tangan harus dicuci sampai bersih setelah bekerja di kebun, sayur dan buah harus dicuci dahulu.
Darah yang digunakan untuk tranfusi pada penderira dengan keadaan umum lemah dengan hasil serologis kehamilan seronegatif harus mengalami pemeriksaan skrining untuk antubodi terhadap T.gondii. Meskipun pemeriksaan skrining serologis tidak dilakukan rutin, namun wanita dengan seronegatif harus mengalami pemeriksaan skrining beberapa kali selama kehamilannya untuk menemukan bukti adanya infeksi jika mereka terpajan dengan situasi lingkungan yang memberikan resiko terkena infeksi T.gondii



DAFTAR PUSTAKA

Cox, F.E.G., 1982. : Immunology. In: Modern Parasitology. A Text Book of Parasitology. Blackwell Scientific, Publications, London. (p.173).
Cornain, S ; Suryana E.J ; Sugiharto. ; Jacoeb T.Z ; Rahman, I.A; Lubis, N.S dan Gusniarti, N., 1990. : Aspek Imunologi dan Pendekatan Imunoterapi pada Infeksi Toxoplasma. Kumpulan Makalah Simposium Toxoplasmosis. Fakultas Kedokteran UI, Jakarta.
Gandahusada. S. 1991. Study on the prevalence of Toxoplasmosis in Indonesia: A review. Proceedings of the 33rd. Seameo Tropmed Regional Seminar Supplement to The Southeast Asian J. Trop. Med. Pub. Hlth. Vol. 22.
Levine. N.D. 1990. Buku Pelajaran Parasitoloqi veteriner. Universitas Gajah Mada Press, Yogyakarta.
W.H.O. 1979. Parasitic Zoonosis. Report of A WHO Expert Committee With The Participation of FAO. WHO Technical Report Series 637: 35.
Zaman. V and Keong. 1988. Buku Penuntun Parasitologi Kedokteran. Bina cipta,
Bandung.



2 komentar: